KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah, segala puji atas kehadirat Allah swt, atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada kita semua, terutama
kepada Saya sehingga dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah
ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi kita dalam proses belajar
terutama pada mata kuliah “AIK ” terkhususnya yang
berhubungan dengan “Pentingnya Akal dan wahyu dalam
pemikiran islam”
Adapun penulisan
dalam makalah ini, disusun secara sistematis dan berdasarkan metode-metode yang
ada, agar mudah dipelajari dan dipahami
sehingga dapat menambah wawasan pemikiran para pembaca.
Dalam penulisan
makalah ini, Saya menyadari sepenuhnya
adanya kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun Saya harapkan dari para
pembaca agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Gresik,
23 Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
D. Manfaat 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Akal
dan wahyu 3
B. Fungsi
dan kedudukan akal dan wahyu 5
C.
Akal dan wahyu dalam pemikiran islam 10
BAB III PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
B. Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang
penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat
pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal
secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan
beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun
tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena
beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah
satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan
dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga
dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta.
Agama mengajarkan dua jalan untuk
mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi
dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai
kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai
kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai
pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui
akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan
pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun Nasution, 1986:
1).
Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, timbul pertanyaan, pengetahuan mana yang lebih dipercaya,
pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu, atau
pengetahuan yang diperoleh melalui kedua-duanya. Karena itu,
masalah hubungan akal dan wahyu ini merupakan masalah yang paling masyhur
dan paling mendalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia, telah lebih
dua ribu tahun (Harun Nasution, 1986: 1).
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah
penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas.
Oleh
karena itulah, Allah SWT menurunkan
wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam
keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui
batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apakah
pengertian akal dan wahyu?
2.
Bagaimana
fungsi dan kedudukan akal dan wahyu?
3.
Bagaimanakah
akal dan wahyu dalam pemikiran Islam?
C.
Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini untuk
menjelaskan bahwa akal dan wahyu dalam kehidupan islam sangat penting akal dan
wahyu yang digunakan maqasid
as-syari’ah atau maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan
hidup manusia, dua di antaranya adalah mewujudkan terjaganya al-‘aql
(intellect), dan keyakinan (ad-din) (Fahim Khan, 1992: 73-74). Dalam
hal ini wahyu merupakan sumber pengetahuan yang didasarkan kepada
keimanan kepada Allah SWT.
D.
Manfaat
1. Agar
kita dapat dapat mengetahui pengertian dari Akal dan wahyu, fungsi dan
kedudukan Akal dan wahyu, serta akal dan wahyu dalam pemikiran islam.
2. Memperluas
wawasan pemikiran kita mengenai akal dan wahyu dalam pemikiran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal Dan
Wahyu
1. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’
yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut
sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus
bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala
memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara
(merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga
memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi
al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai,
mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani
atau hati sanubari.
Menurut
pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti kecerdasan
praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern
disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Dengan
demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat melepaskan
diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql
mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi
disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam,
yang mengartikan ‘aql sama dengan nous yang mengandung arti daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui
al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala (Harun Nasution, 1986:
7-8).
Pengaruh filsafat Yunani terhadap
filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat mereka tentang akal
yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat
dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato,
menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu
(al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah
al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berfikir (al-quwwah
an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di kalangan teolog muslim,
mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti pendapat
Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang
membuat seseorang dapat membedakan dirinya dengan benda-benda lain,
dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan
Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas moral, yakni di samping untuk
memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk membedakan antara
kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan
yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri (Harun Nasution,
1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam
Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46,
yang artinya,” Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi,
lalu
bagi mereka mempunyai al-qolb,
yang
dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan
memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu)
mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi
al-qolb (mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu
ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut,
memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja memahami dan
memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di dalam al-qolb,
dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu adalah
jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam
dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab
adalah al-kabd.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam,
bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang terdapat dalam jiwa
manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam
sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang
membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.
2. Wahyu
Kata al-wahy yang berarti suara,
kecepatan, api, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab adalah kata arab
asli, bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Selanjutnya al-wahy mengandung
arti pemberitahuan secara tersebunyi dan dengan cepat. Namun arti yang paling
terkenal adalah “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.
Yakni sabda Tuhan yang disampaikan kepada orang pilihanNya agar diteruskan
kepada manusia untuk dijadikan pegangan hidup (Harun Nasution, 1992: 15)
Firman
Allah itu mengandung petunjuk dan pedoman yang memang diperlukan oleh
umat manusia dalam menjani hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dalam Islam
wahyu Allah itu disampaikan kepada nabi Muhammad saw yang terkumpul semuanya dalam
al-Qur’an.
Wahyu dalam arrti firman Allah yang
disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya, misalnya:
Artinya: “ sesungguhnya kami telah memberikan
wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami
telah memberikan wahyu (pula) kepada ibrahim, ismail, ishaq, ya’qub, dan anak
cucuny, isa, ayyub,Yunus, Harun, dan sulaiman. Dan kami berikan zabur kepada
Dawud”
Adapun cara penyampaian wahyu, atau komunikasi
Tuhan dengan nabi-nabi melalui tiga cara: (1) Melalui jantung hati seseorang
dalam bentuk ilham; (2) Dari belakang tabir, seperti yang terjadi pada
Nabi Musa dan (3) Melalui utusan yang
dikirimkan Tuhan dalam bentuk malaikat.
B. Fungsi Dan Kedudukan
Akal Dan Wahyu
Al-quran
juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan mengadakan pembagian
tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya pikir manusia menjangkau
wilayah fisik dari masalah-masalah yang relatif, sedangkan qalbu memiliki
ketajaman untuk menangkap makna-makna yang bersifat metafisik dan mutlak. Oleh
karenanya dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki kedudukan
dan fungsi yang lain yaitu sebagai berikut:
1.
Akal sebagai alat yang strategis untuk
mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
2.
Akal merupakan potensi dan modal yang
melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam
pengertian al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3.
Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat
menangkap pesan dan nsemangat al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam
mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4.
Akal juga berfungsi untuk menjabarkan
pesan-pesan al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai
khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya.
Namun
demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan
tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan
teru-menerus.
Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting
dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat dari point-point berikut:
1) Alloh
subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada
orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan
syari'at-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan
kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula
sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai
fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
2) Akal
merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban
kewajiban) dari Alloh subhanahu wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku
bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima
taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallama bersabda:
"رُفِعَ
القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari
tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar
(berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3)
Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya.
Misalnya celaan Alloh subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak
menggunakan akalnya:
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak
mengikuti syari'at dan petunjuk Nabi-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).
4) Penyebutan
begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti
tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum
tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa
Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal
Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan
lainnya.
5) Al-Qur'an
banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?
kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya". (QS. An Nisaa' [04]: 82)
Artinya:"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan
selain Alloh, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Alloh
yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan". (QS. Al Anbiyaa'
[21]: 22 )
Artinya:"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah
mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?". (QS. Ath Thuur [52]: 35 )
6) Islam mencela
taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fingsi akal.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami
dan mengikuti kebenaran.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu)
tidak menyembah- nya dan kembali kepada Alloh, bagi mereka berita gembira;
sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah
orang-orang yang Telah diberi Alloh petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]: 17-18)
7) Alloh
subhanahu wa'ta'ala menggunakan ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya
pencipta ayat kauniyah tersebut. Dan itu merupakan suatu proses berfikir
(menggunakan akal) yang dibutuhkan untuk mengetahui adanya hubungan antara alam
dan pencipta alam.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Yang Telah menciptakan tujuh langit
berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha
Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan
penglihatanmu itupun dalam keadaan payah". (QS. Al Mulk [67]: 3-4)
Adapun
wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu langsunng (al-Qur’an)
ataupun wahyu yang tidak langsung (al-Sunnah), kedua-duanya memiliki fungsi dan
kedudukan yang sama meski tingkat akurasinya berbeda karena disebabkan oleh
proses pembukuan dan pembakuannya. Kalau al-Qur’an langsung ditulis semasa
wahyu itu diturunkan dan dibukukan di masa awal islam, hanya beberapa waktu
setelah Rosul Allah wafat (masa Khalifah Abu Bakar), sedangkan al-hadis atau
al-Sunnah baru dibukukan pada abat kedua hijrah (masa Khalifah Umar bin Abdul
Aziz), oleh karena itu fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1.
Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran
Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukan kepada
al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemahaman dan
penngamalan ajaran Islam tanpa merujuk pada al-quran dan al-sunnah adalah omong
kosong.
2.
Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu
itu akan difungsikan biala akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai
alat untuk memahami islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar
hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidal boleh
menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah
seperti cahaya terhadap indera penglihatan manusia..
Oleh
karena itulah, Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar
tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu
maka ia akan tersesat.
Meletakkan
akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat dibandingkan struktural,
karena bagaimanapun juga akal memiliki
fungsi sebagai alat untuk
memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan
manusia harus melibatkan akal untuk memahami dan menjabarkan secara praktis.
Manusian diciptakan oleh tuhan dengan tujuan ang jelas, yakni sebagai hamba
Allah dan khalifah Allah, dan untuk mencapai tujuan tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.
C. Akal Dan Wahyu Dalam
Pemikiran Islam
Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah
bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir
pada mulanya hanya sebagai agama di Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah
menjadi negara, selanjutnya membesar di Damasyik, menjadi kekuatan politik
internasional yang daerahnya luas dan akhirnya berkembang di baghdad menjadi
kebudayaan bahlkan peradapan yang tidak kecil pengaruhnya, sebagaimana yang
telah disebutkan di atas, pada peradaban barat modern. Dalam perkembangan islam
dalam kedua aspek itu, akal memainkan peranan penting, bukan dalam bidang
kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas
masalah-masalah keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada
wahyu, tetapi banayk pula bergantung pada pendapat akal. Peranan akal yang
besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula hanya
dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan juga dalam fikih
dan tafsir sendiri .(Nasution Harun, 1986: 71)
1. Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam
bidang fikih atau hukum Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham atau
mengerti. Untuk mengerti dan memahami sesuatu diperlukan pemikiran dan
pemakaian akal.
Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang
menbahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat al-Qur’an, yang berkenaan dengan
hukum. Untuk pemahaman dan penafsiran itu diperlukan ihtihad, ihtihad pada
asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan
dalam istilah hukum berarti uasaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk
mengeluarkan ketentusn hukum agama dan sumber-sumbernya.
2. Ilmu Tauhid dan
Teologi
Kalau dalam ilmu fikih peranan akal dalam
hukum Islam yang dipermasalahkan, dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya
meningkat menjadi akal dan wahyu. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal
dan wahyu terhadap dua persoalan pokok dealam agama, yaitu adanya Tuhan serta
kebaikan dan kejahatan.
3. Falsafat
Sesuai denagn pengertian falsafat sebagai
pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud, akal lebih banyak dipakai dan akal
dianggap lebih besar dayanya dari yang dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu
fikih. Sebagai akibatnya pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari
pada pendapat-pendapat keagamaan ulamatauhid atau teolog, sehingga timbul sikap
salah menyalahkan bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua golongan itu.
Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat
dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi, filosof yang datang sesudah
Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada
pertentangan. Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran
yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya berbeda. Al-Farabilahfilosof
Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan falsafat.
4. Pemikir-Pemikir
Pembaharuan Islam
Demikianlah kedudukan akal dan wahyu dalam
pemikiran keagamaan Islam zaman klasik, yang terdapat dalam bidang fikih,
bidang tauhid, dan bidang falsafat. Sesudah zaman klasik yang berakhir secara
resmi pada pertengahan abad ketiga belas, pemikiran dalam Islam tidak
berkembang. Tetapi pada zaman modern sekarang mulai pada permulaan abad
ke-sembilan belas, pemikiran atas dorongan nasionalisme yang datang dari dunia
barat mulai timbul kembali. Pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam mulai
menonjolkan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an, dalam Hadis dan dalam
sejarah pemikiran Islam.
Kedudukan tinggi dari akal di zaman modern ini
dapat dilihat dalam pemikiran Ahmad Khan. Bagi
pemimpin pembaharuan dalam Islam di India ini hanya Al-Qur’an uang
bersifat absolut dan harus dipercayai. Lainnya bersifat relatif, boleh
diterima, boleh ditolak. Tetapi disamping itu ia punya kepercayaan yangkuat
pada akal dan hukum alam. Islam dalam pendapatnya adalah agama yang sesuai
dengan akal dan hukum alam. Oleh sebab itu pendapat-pendapat yang tidak sesuai
dengan akal dan hukum alam timbul karena salah pemahaman ataupeun salah
interprestasi tentang ayat-ayat al-Qur’an. Islam adalah agama yang sesuai
denagan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Disamping itu akal dapat membuat hukum mengenai hal-hal yang diatas
untuk diamalkan oleh manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan:
1. Akal merupakan hidayah
Allah yang diberikan kepada menusia berfungsi sebagai alat untuk mencari
kebenaran, akal mampu merumuskan yang bersifat kognitif dan manajerial.
2. Wahyu merupakan firman
Allah yang berfungsi sebagai pedoman hidup manusia. Wahyu baik yang langsung
(al-Qur’an) maupun tidak langsung (al-Sunnah) sebagi sumber ajaran Islam
3. Akal dan wahyu dilihat
secara fungsional bukan struktural, akal berfungsi untuk memahami wahyu, dan
wahyu berfungsi untuk meluruskan kerja akal.
4. Dalam ajaran Islam,
akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan hanya dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri.
5.
Kedudukan
wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera penglihatan
manusia
B. Saran
Kami mengharapkan para pembaca bisa mengambil
pelajaran dari makalah kami ini, dan member kritikan dari setiap kesalahan yang
ada karena kami manusia biasa yang dhaif, dan jika ada benarnya itu semata-mata
dari Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1986. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI
Press
Absori, Sudarno Shobron, Yadi Purwanto dkk. 2009. Studi Islam 3.
Surakarta: LPID UMS
Asy’arie, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
Al-Qur’an. Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam.
0 comments:
Post a Comment